Catatan Pengabdian PNS di Perbatasan Indonesia-Malaysia: Duka

 Yang namanya anak rantau pasti merasakan beberapa hal yang akan saya tulis ini. Duka, suka atau tidak suka adalah bagian dari perjalanan hidup manusia. Mesti kita terima, mesti kita rangkul, kalau kata beberapa filsuf seperti Cioran, dan mulai menerima hidup ini apa adanya seperti konsep amorfati yang lekat dengan Nietzche.

Rasa duka, membuat depresi, tentu lah. Diantaranya ketika PNS muda sepertiku didinaskan jauh dari kampung halaman ialah, rasa rindu kepada orang tua. Terlebih, bapak telah meninggal dunia dan tinggallah mama. Terkadang perih rasanya kalau mengingat jauhnya jarak dan ini berakibat semakin banyaknya tantangan yang dihadapi untuk hanya sekedar bertemu. Belum lagi kalau dalam kisahku, saat bapak meninggal dulu, aku sedang bekerja di Jakarta. Aku tak sempat menyampaikan salam terakhir untuknya di penghujung usiany, hal ini membekas dalam, di relung hatiku sampai hari ini.

Kedua, masa depan yang semakin jauh dari rencana awal. Tentu, beberapa dari kita memiliki rencana sebelumnya, tentang lanjut studi kah, atau mengembangkan usaha sampingan kah disamping jadi PNS. Namun, semua itu serasa kandas, sebab peluang untuk meraih itu semua seperti tertutup. Alasannya, akses informasi yang semakin jauh dari pusat, lingkungan yang tidak mendukung. Perlu diketahui kondisi di sebuah kabupaten apalagi perbatasan Indonesia jauh berbeda dengan kondisi di perkotaan dan pusat pemerintahan. Bahkan seorang dosen bilang, semakin jauh letak sebuah daerah dari Pusat akan seperti kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Dan ini saya rasakan betul sebagai seorang pendatang di perbatasan Indonesia. 

Ketiga, finansial yang bisa dibilang hanya cukup untuk menyambung hidup dari bulan ke bulan. Total penghasilan golongan jabatan di instansi saya cuman 6 juta. Cukup lumayan sebetulnya, ketika kita hidup single dan tanpa tanggungan dan tinggal di pulau Jawa. Tetapi beda cerita kalau kamu di posisi saya. Tinggal di perbatasan harga-harga bisa sampai 2-3 kali lipat dari harga di Jawa. Contoh kalau makan ayam geprek di Jawa masih bisa harga 12-15 ribu disini berkisar 18-25 ribu, terus motor kalau di Jawa Yamaha Mio M3 18 juta di sini 21 juta. Jadi ya... dengan penghasilan yang dipukul rata 6 juta se-Indonesia, rasanya gak fair... belum lagi di instansi saya tidak ada tunjangan perbatasan. Belum, lagi posisinya saya sebagai generasi sandwich yang masih harus ikut membiayai ini dan itu. Sedih sih, tapi ya... gimana, ini kan takdirku, bagian dari ujian episodeku.

Terus, kesehatan... akibat stress dan depresi akibat overthinking dan segala faktor amburadul lainnya, akhirnya membuat saya sering drop, sakit. Percayalah, ketika kamu hidup sebatang kara di perantauan yang sangat amat jauh dari kampung halaman, rasanya... Kamu akan menyesali setiap momen yang hilang bersama orang tercinta, keluarga, karib, saudara, rindu akan memori yang indah, lebih mensyukuri setiap hal kecil yang dilakukan orang lain, intinya ketidakberdayaan yang membawa pada pengembangan diri dan kedewasaan yang lebih baik. Sakit, parah, datang dan pergi sampai beberapa kali dirawat di IGD. 

Berikut beberapa duka yang saya rasakan, bahkan beberapa duka itu masih mewarnai sampai hari ini, hanya saja... Kali ini, duka itu perlahan memudar dan digantikan suka... yang nanti saya akan tulis di blog berikutnya.  

  

Komentar

Postingan Populer