Yuk Berwisata ke Kabupaten Ngawi
Tepatnya pada pertengahan April 2017 yang lalu, saya menyempatkan untuk pergi berlibur ke tempat kelahiran ibu. Saya berlibur ke sebuah Kota kecil di provinsi Jawa Timur, kota kecil itu bernama Ngawi. Ada banyak alasan yang mendasari saya untuk mengambil kota ini sebagai tempat tujuan untuk berlibur. Alasan pertama kota ini merupakan bagian dari sejarah perjalanan kehidupan saya karena nenek dan kakek dari ibu lahir dan meninggal di kota ini. Alasan kedua karena kota ini merupakan kota kecil yang punya infrastruktur yang cukup baik sehingga cocok sebagai tempat menyepi dari hiruk pikuk kesibukan kota besar. Alasan ketiga lokasinya yang mudah ditempuh dari Kota Bandung, perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 Jam bila ditempuh dengan Kereta Api dengan rute Kiaracondong-Madiun dengan harga tiket yang relatif murah yaitu Rp. 81.000. Alasan lainnya kota ini cukup banyak memiliki lokasi wisata yang menarik dan kota ini belum terlalu modern sehingga masih terasa semangat tradisionalnya.
Perjalanan ke kota Ngawi cukup cepat, berangkat dari stasiun Kiaracondong, Bandung pukul 8 Malam, pukul 7 pagi saya telah sampai ke salah satu stasiun di Ngawi yaitu stasiun Paron. Sewaktu saya kecil ketika sampai di stasiun ini biasanya sudah ada barisan delman yang siap mengantar penumpang ke tempat yang dituju. Namun belasan tahun kemudian ketika saya main lagi ke kota ini barisan delman sudah tiada tergantikan dengan barisan bebek-bebek mesin buah investasi Jepang. Hal berbeda lainnya yang saya temui adalah tidak adanya lagi para ibu-ibu penjual makanan yang senantiasa menjajakan makanan ringan hingga beratnya di gerbong kereta dan peron stasiun. Untuk hal ini saya senang tapi sedih juga karena disatu sisi perjalanan jauh lebih nyaman namun di sisi lain seperti tidak berkesan seperti dahulu dan perasaan nostalgia itu seperti hilang. Tapi bagaimanapun ini sebuah pencapaian yang baik dari pemerintah yang sekarang, saya berterima kasih.
Setelah nyekar makam si mbah (orangtua ibu), dan berkunjung ke rumah saudara dan kerabat disana untuk sekedar bersua dan kangen-kangenan esok harinya saya mulai melakukan perjalanan ke beberapa tempat wisata di Kota ini.
Perjalananan liburan/ rekreasi pertama saya lakukan pada malam hari, saya menyempatkan berkunjung dan wisata kuliner di Alun- Alun Kota Ngawi. Tidak banyak yang berubah, hanya saja menjadi sedikit lebih ramai dengan kendaraan bermotor. Sudah jarang pelajar yang menggunakan sepeda onthel untuk sarana transportasi ke sekolah, lagi-lagi motor menjadi pilihan utama. Meskipun demikian secara infrastruktur perlu diacungi jempol. Di alun-alun akan banyak ditemukan fasilitas umum yang menunjang rekreasi warga. Ada taman bermain anak-anak, ada fasilitas olahraga gratis, lapangan sepakbola, arena skateboard, dll.
Pada malam itu setelah mencicipi sate tahu di angkringan sekitar alun-alun dan steak daging sapi citarasa tradisional di Warung An-Nisa, saya menyempatkan mampir ke salah satu angkringan wedang rondhe di depan Bank Mandiri Ngawi. Wedhang rondhe adalah satu jenis kuliner yang langka bagi saya, sehingga ketika tahu dan mencoba mencicipinya sungguh terasa spesial dan memang rasa wedhan rondhe tersebut tidaklah mengecewakan. Malam itu saya akhiri dengan menikmati dua porsi wedhang rondhe dan dilanjutkan beristirahat di rumah saudara.
Keesokan harinya kegiatan rekreasi menjelajah Ngawi saya lanjutkan dengan mengendarai motor ke salah satu perkebunan teh yang cukup masyhur disana, namanya perkebunan teh Jamus. Ini atas rekomendasi saudara disana katanya lokasinya asyik buat menenangkan pikiran/refreshing, hanya sayang bukan hari libur besar jadi pasti tidak akan bisa liat orang "mendem-mendeman" guraunya. Perkebunan teh Jamus ini terletak di sekitaran kaki gunung Lawu. Alhamdulillah ketika saya dan saudara bermotor kesana cuaca sedang bagus-bagusnya, langit biru dan angin tidak terlalu kencang. Perjalanan dengan menggunakan motor memakan waktu sekitar satu jam dari dusun saya menginap, tepatnya di dusun Manggis desa Gentong.
Perjalanan menuju kesana akan menuntun mata melewati daerah-daerah yang masih asri dan tradisional terutama setelah melewati daerah Jogorogo. Mata akan dimanjakan dengan terasering pesawahan khas pegunungan dan juga pepohonan yang masih sangat asri. Dibutuhkan tiket masuk untuk memasuki area perkebunan ini, tenang saja tidak mahal, hanya 5000 rupiah per orang. Setelah masuk dari gerbang utama kita akan melewati jalan yang berkelak-kelok yang tentunya membawa santai. Di atas perkebunan teh akan terdapat parking area, pasar suvenir dan juga kolam renang alam (sayang saya tidak merasakan kolam renangnya karena kurangnya persiapan). Bukan hanya itu dari atas perkebunan kita bisa melihat keseluruhan wilayah Kota Ngawi yang sangat indah membentang di pucuk horizon.
Ada hal unik yang jangan dilewatkan ketika mengunjungi perkeunan teh ini. Karena, disalah satu puncak bukit kebun teh, ada serumpun pohon teh yang sengaja dibiarkan tumbuh tinggi sehingga menjadi sebuah keunikan tersendiri. Buat pecinta instagram, spot ini saya jamin instagramable banget.
Hanya satu yang kurang dari lokasi perkebunan teh yang juga sebagai destinasi wisata ini, ialah tidak adanya makanan khas yang bisa dijadikan potensi khasanah lokal daerah tersebut.
Tak lama saya berada di Jamus. Setelah sekitar satu jam kami berada disana, kami segera memutuskan melanjut perjalanan ke destinasi wisata selanjutnya yaitu ke museum yang terkenal sejak SD karena selalu masuk buku mata pelajaran IPS, ya museum itu adalah Museum Trinil. Lama sudah saya berharap bisa berkunjung ke museum ini dan setelah usia kepala dua baru bisa terlaksana.
Dalam perjalanan menuju Trinil dari Jamus sangatlah jauh hampir sekitar dua jam kalo saya tidak lupa. Ada keunikan dalam perjalanan kesana ternyata kami melewati salah satu taman pahlawan milik Kota Ngawi yaitu Taman Soerjo/ Taman Suryo. Dengan sedikit memaksa dan juga karena lelah dalam perjalanan kami sempat beristirahat disana sekadar untuk melepas lelah dan berfoto tentunya.
Sebenarnya ada nilai sejarah yang bisa digali disana tapi saya tidak bisa dapat banyak selain dari penjelasan saudara saya. Menurutnya taman ini dibangun untuk mengenang jasa pahlawan Ngawi yaitu Gubernur Soerjo ketika dulu ada insiden PKI disana. Masih menurutnya bahwa Gubernur Soerjo menjadi target dari PKI karena keberaniannya melawan PKI. Akibatnya pada suatu malam ketika sang Gubernur hendak pergi keluar daerah bersama ajudannya dia ditangkap di hutan lokasi berdirinya monumen itu dan dibantai beserta para ajudannya.
Rasa lelah perjalanan terbayar dengan satu buah cerita historis dan juga satu buah es kelapa muda yang bisa dibeli disana. Tak lama kami pun segera bersiap menuju lokasi yang menjadi tujuan utama yaitu Museum Trinil.
Dari lokasi Taman Soerjo masih sekitar 45 menitan untuk sampai ke Museum Trinil. Bertepatan dengan dikumandangkannya adzan dhuhur kami baru sampai di Museum Trinil. Sama seperti di Jamus, untuk masuk ke dalam lokasi Museum seorang dikenakan biaya tiket 10.000 Rupiah sudah berikut parkir.
Ada cerita kecewa ketika saya mengunjungi museum ini, mungkin dikarenakan ekspektasi yang berlebihan terhadap museum ini.
Hal pertama yang disayangkan dari museum ini adalah fasilitas umum yang sangat-sangat tidak terawat. Sebetulnya ada banyak fasilitas umum seperti mushola, wc umum, taman bermain anak dan kantin hanya saja ketika saya kesana keadaannya sangat memprihatinkan. Wc sangat kekurangan baik air bersih dan tingkat higienitasnya. Taman bermain sangat tidak terawat, patung-patung hewan purba dibiarkan ditumbuhi lumut dan rumput-rumput tinggi sehingga terkesan terabaikan dan tidak terpakai padahal ini ditempatkan di lokasi yang sangat luas.
Hal kedua yang membuat saya sangat kecewa adalah saya tidak bisa melihat langsung benda yang menjadi nilai penting museum ini, iya tepat sekali, itu adalah kerangka manusia purba homo erectus paleojavanicus yang ditemukan Eugene Dubois pada tahun 1891. Tiadanya artifak ini dikarenakan Belanda mengklaim sebagai pihak yang menemukan fosil ini dan pada tahun 2013/2014 (saya lupa) fosil ini dibawa ke Belanda. Katanya sih untuk di teliti, tapi entah. Yang tersisa disana hanyalah fosil hewan purba seperti gajah, kerbau, rusa dan replika homo erectus yang nggak banget. Terkait dengan fasilitas yang ada di dalam ruang pameran juga sangat minim, bahkan bisa dikatakan sangat sederhana dan kuno. Saya sebagai seorang turis cepat merasa bosan dengan keadaan yang demikian ditambah personel penjaga museum yang juga terlihat malas meskipun ramah. Selanjutnya hari itu kami akhiri dengan menyantap mie ayam kangkung kaki lima dan pulang.
Hari ketiga saya lakukan perjalanan ke Surabaya karena harus mengantar saudara untuk satu urusan, tak ada yang spesial hanya lelah yang amat sangat. Ada satu sih yang sebenernya menarik, ialah warung makan kaki lima yang menyediakan sambel dadakan dan ikan wader goreng krispi yang meredakan pilek saya. Sungguh makanan yang menyehatkan. hahaha
Hari keempat saya melakukan perjalanan ke sebuah destinasi wisata kolam renang alami. Berbeda dengan kolam renang Jamus, lokasi kolam renang ini lebih dekat, tepatnya berada di daerah Jogorogo. Nama Kolam Renang Alam ini adalah Kolam Renang Hargo Dumilah. Sekilas tak ada yang aneh dengan kolam renang ini, tapi ketika sudah merasakan airnya akan merasa ketagihan. Kolam renang ini memakai air gunung alami yang didesain sedemikian rupa sehingga ada sirkulasi di kolam renangnya sehingga segar terus dan bebas kaporit. Meskipun demikian menurut saudara saya waktu terbaik mengunjungi kolam ini adalah hari Selasa/Rabu karena itu waktu dimana kolam ini baru dikuras sehingga masih pure banget airnya. Ketiadaan zat kimia seperti kaporit dalam air inilah yang membuat berenang disini sangat menyenangkan dan so refreshing, ditambah pemandangan yang menghadap pegunungan dan sawah penduduk menjadi nilai plus kolam renang ini. Untuk biaya sendiri kami dikenai 15.000 per orang sudah termasuk sebotol minuman teh produk asli Hargo Dumilah.
Hari kelima saya hendak pulang, tapi sebelum pulang saya menyempatkan berkunjung ke salah satu destinasi wisata rekomendasi adik perempuan dan paman saya yaitu Benteng Van Den Bosch. Bersama saudara saya mengenakan sepeda motor saya kemudian menyempatkan berkunjung kesana tiket masuk saya lupa sekitar 5000 kalo tidak salah. Sayang sekali ketika saya kesana saya kurang mendapat kenikmatan kesunyian benteng yang pernah masuh acara mister tukul jalan-jalan ini. Hal ini dikarenakan ketika saya berkunjung bertepatan dengan akan diadakannya konser musik yang salah satu pengisinya adalah mbak Uut/ Trie utami, sehingga benteng waktu itu dipenuhi banyak kru panggung. Tapi tidak apa hal itu tidak mengecilkan langkah saya untuk mengeksplor benteng Van den Bosch dan mengambil satu dua poto sebagai kenangan.
Itulah sebagian perjalanan yang saya telah lakukan di Kota Ngawi, sebuah kota kecil yang layak mendapat kunjungan karena tidak menyangka sebuah kota kecil banyak memiliki cerita sejarah dan lokasi alam yang cukup menarik. Kedepannya semoga Ngawi bisa lebih memperhatikan destinasi pariwisatanya lebih baik lagi. Sekian dan Terima Kasih.
Kendaraan unik yang saya temui di Alun-alun Kota Ngawi |
Perjalanan ke kota Ngawi cukup cepat, berangkat dari stasiun Kiaracondong, Bandung pukul 8 Malam, pukul 7 pagi saya telah sampai ke salah satu stasiun di Ngawi yaitu stasiun Paron. Sewaktu saya kecil ketika sampai di stasiun ini biasanya sudah ada barisan delman yang siap mengantar penumpang ke tempat yang dituju. Namun belasan tahun kemudian ketika saya main lagi ke kota ini barisan delman sudah tiada tergantikan dengan barisan bebek-bebek mesin buah investasi Jepang. Hal berbeda lainnya yang saya temui adalah tidak adanya lagi para ibu-ibu penjual makanan yang senantiasa menjajakan makanan ringan hingga beratnya di gerbong kereta dan peron stasiun. Untuk hal ini saya senang tapi sedih juga karena disatu sisi perjalanan jauh lebih nyaman namun di sisi lain seperti tidak berkesan seperti dahulu dan perasaan nostalgia itu seperti hilang. Tapi bagaimanapun ini sebuah pencapaian yang baik dari pemerintah yang sekarang, saya berterima kasih.
Setelah nyekar makam si mbah (orangtua ibu), dan berkunjung ke rumah saudara dan kerabat disana untuk sekedar bersua dan kangen-kangenan esok harinya saya mulai melakukan perjalanan ke beberapa tempat wisata di Kota ini.
Perjalananan liburan/ rekreasi pertama saya lakukan pada malam hari, saya menyempatkan berkunjung dan wisata kuliner di Alun- Alun Kota Ngawi. Tidak banyak yang berubah, hanya saja menjadi sedikit lebih ramai dengan kendaraan bermotor. Sudah jarang pelajar yang menggunakan sepeda onthel untuk sarana transportasi ke sekolah, lagi-lagi motor menjadi pilihan utama. Meskipun demikian secara infrastruktur perlu diacungi jempol. Di alun-alun akan banyak ditemukan fasilitas umum yang menunjang rekreasi warga. Ada taman bermain anak-anak, ada fasilitas olahraga gratis, lapangan sepakbola, arena skateboard, dll.
Pada malam itu setelah mencicipi sate tahu di angkringan sekitar alun-alun dan steak daging sapi citarasa tradisional di Warung An-Nisa, saya menyempatkan mampir ke salah satu angkringan wedang rondhe di depan Bank Mandiri Ngawi. Wedhang rondhe adalah satu jenis kuliner yang langka bagi saya, sehingga ketika tahu dan mencoba mencicipinya sungguh terasa spesial dan memang rasa wedhan rondhe tersebut tidaklah mengecewakan. Malam itu saya akhiri dengan menikmati dua porsi wedhang rondhe dan dilanjutkan beristirahat di rumah saudara.
My brother di keheningan malam alun-alun Kota Ngawi |
Keesokan harinya kegiatan rekreasi menjelajah Ngawi saya lanjutkan dengan mengendarai motor ke salah satu perkebunan teh yang cukup masyhur disana, namanya perkebunan teh Jamus. Ini atas rekomendasi saudara disana katanya lokasinya asyik buat menenangkan pikiran/refreshing, hanya sayang bukan hari libur besar jadi pasti tidak akan bisa liat orang "mendem-mendeman" guraunya. Perkebunan teh Jamus ini terletak di sekitaran kaki gunung Lawu. Alhamdulillah ketika saya dan saudara bermotor kesana cuaca sedang bagus-bagusnya, langit biru dan angin tidak terlalu kencang. Perjalanan dengan menggunakan motor memakan waktu sekitar satu jam dari dusun saya menginap, tepatnya di dusun Manggis desa Gentong.
Saya di atas batu di kebun teh Jamus, Ngawi |
Perjalanan menuju kesana akan menuntun mata melewati daerah-daerah yang masih asri dan tradisional terutama setelah melewati daerah Jogorogo. Mata akan dimanjakan dengan terasering pesawahan khas pegunungan dan juga pepohonan yang masih sangat asri. Dibutuhkan tiket masuk untuk memasuki area perkebunan ini, tenang saja tidak mahal, hanya 5000 rupiah per orang. Setelah masuk dari gerbang utama kita akan melewati jalan yang berkelak-kelok yang tentunya membawa santai. Di atas perkebunan teh akan terdapat parking area, pasar suvenir dan juga kolam renang alam (sayang saya tidak merasakan kolam renangnya karena kurangnya persiapan). Bukan hanya itu dari atas perkebunan kita bisa melihat keseluruhan wilayah Kota Ngawi yang sangat indah membentang di pucuk horizon.
Ada hal unik yang jangan dilewatkan ketika mengunjungi perkeunan teh ini. Karena, disalah satu puncak bukit kebun teh, ada serumpun pohon teh yang sengaja dibiarkan tumbuh tinggi sehingga menjadi sebuah keunikan tersendiri. Buat pecinta instagram, spot ini saya jamin instagramable banget.
My bro di depan rumpun pohon teh yang dibiarkan tinggi |
Hanya satu yang kurang dari lokasi perkebunan teh yang juga sebagai destinasi wisata ini, ialah tidak adanya makanan khas yang bisa dijadikan potensi khasanah lokal daerah tersebut.
Tak lama saya berada di Jamus. Setelah sekitar satu jam kami berada disana, kami segera memutuskan melanjut perjalanan ke destinasi wisata selanjutnya yaitu ke museum yang terkenal sejak SD karena selalu masuk buku mata pelajaran IPS, ya museum itu adalah Museum Trinil. Lama sudah saya berharap bisa berkunjung ke museum ini dan setelah usia kepala dua baru bisa terlaksana.
Dalam perjalanan menuju Trinil dari Jamus sangatlah jauh hampir sekitar dua jam kalo saya tidak lupa. Ada keunikan dalam perjalanan kesana ternyata kami melewati salah satu taman pahlawan milik Kota Ngawi yaitu Taman Soerjo/ Taman Suryo. Dengan sedikit memaksa dan juga karena lelah dalam perjalanan kami sempat beristirahat disana sekadar untuk melepas lelah dan berfoto tentunya.
My bro berfoto di depan monumen taman Soerjo, Ngawi |
Sebenarnya ada nilai sejarah yang bisa digali disana tapi saya tidak bisa dapat banyak selain dari penjelasan saudara saya. Menurutnya taman ini dibangun untuk mengenang jasa pahlawan Ngawi yaitu Gubernur Soerjo ketika dulu ada insiden PKI disana. Masih menurutnya bahwa Gubernur Soerjo menjadi target dari PKI karena keberaniannya melawan PKI. Akibatnya pada suatu malam ketika sang Gubernur hendak pergi keluar daerah bersama ajudannya dia ditangkap di hutan lokasi berdirinya monumen itu dan dibantai beserta para ajudannya.
Rasa lelah perjalanan terbayar dengan satu buah cerita historis dan juga satu buah es kelapa muda yang bisa dibeli disana. Tak lama kami pun segera bersiap menuju lokasi yang menjadi tujuan utama yaitu Museum Trinil.
Dari lokasi Taman Soerjo masih sekitar 45 menitan untuk sampai ke Museum Trinil. Bertepatan dengan dikumandangkannya adzan dhuhur kami baru sampai di Museum Trinil. Sama seperti di Jamus, untuk masuk ke dalam lokasi Museum seorang dikenakan biaya tiket 10.000 Rupiah sudah berikut parkir.
Ada cerita kecewa ketika saya mengunjungi museum ini, mungkin dikarenakan ekspektasi yang berlebihan terhadap museum ini.
Saya berfoto di tugu penunjuk arah lokasi ditemukannya fosil Homo Erectus Paleojavanicus, Museum Trinil, Ngawi |
Hal pertama yang disayangkan dari museum ini adalah fasilitas umum yang sangat-sangat tidak terawat. Sebetulnya ada banyak fasilitas umum seperti mushola, wc umum, taman bermain anak dan kantin hanya saja ketika saya kesana keadaannya sangat memprihatinkan. Wc sangat kekurangan baik air bersih dan tingkat higienitasnya. Taman bermain sangat tidak terawat, patung-patung hewan purba dibiarkan ditumbuhi lumut dan rumput-rumput tinggi sehingga terkesan terabaikan dan tidak terpakai padahal ini ditempatkan di lokasi yang sangat luas.
Hal kedua yang membuat saya sangat kecewa adalah saya tidak bisa melihat langsung benda yang menjadi nilai penting museum ini, iya tepat sekali, itu adalah kerangka manusia purba homo erectus paleojavanicus yang ditemukan Eugene Dubois pada tahun 1891. Tiadanya artifak ini dikarenakan Belanda mengklaim sebagai pihak yang menemukan fosil ini dan pada tahun 2013/2014 (saya lupa) fosil ini dibawa ke Belanda. Katanya sih untuk di teliti, tapi entah. Yang tersisa disana hanyalah fosil hewan purba seperti gajah, kerbau, rusa dan replika homo erectus yang nggak banget. Terkait dengan fasilitas yang ada di dalam ruang pameran juga sangat minim, bahkan bisa dikatakan sangat sederhana dan kuno. Saya sebagai seorang turis cepat merasa bosan dengan keadaan yang demikian ditambah personel penjaga museum yang juga terlihat malas meskipun ramah. Selanjutnya hari itu kami akhiri dengan menyantap mie ayam kangkung kaki lima dan pulang.
My bro berfoto di depan fosil gading gajah purba di Museum Trinil, Ngawi |
Hari ketiga saya lakukan perjalanan ke Surabaya karena harus mengantar saudara untuk satu urusan, tak ada yang spesial hanya lelah yang amat sangat. Ada satu sih yang sebenernya menarik, ialah warung makan kaki lima yang menyediakan sambel dadakan dan ikan wader goreng krispi yang meredakan pilek saya. Sungguh makanan yang menyehatkan. hahaha
Hari keempat saya melakukan perjalanan ke sebuah destinasi wisata kolam renang alami. Berbeda dengan kolam renang Jamus, lokasi kolam renang ini lebih dekat, tepatnya berada di daerah Jogorogo. Nama Kolam Renang Alam ini adalah Kolam Renang Hargo Dumilah. Sekilas tak ada yang aneh dengan kolam renang ini, tapi ketika sudah merasakan airnya akan merasa ketagihan. Kolam renang ini memakai air gunung alami yang didesain sedemikian rupa sehingga ada sirkulasi di kolam renangnya sehingga segar terus dan bebas kaporit. Meskipun demikian menurut saudara saya waktu terbaik mengunjungi kolam ini adalah hari Selasa/Rabu karena itu waktu dimana kolam ini baru dikuras sehingga masih pure banget airnya. Ketiadaan zat kimia seperti kaporit dalam air inilah yang membuat berenang disini sangat menyenangkan dan so refreshing, ditambah pemandangan yang menghadap pegunungan dan sawah penduduk menjadi nilai plus kolam renang ini. Untuk biaya sendiri kami dikenai 15.000 per orang sudah termasuk sebotol minuman teh produk asli Hargo Dumilah.
Hari kelima saya hendak pulang, tapi sebelum pulang saya menyempatkan berkunjung ke salah satu destinasi wisata rekomendasi adik perempuan dan paman saya yaitu Benteng Van Den Bosch. Bersama saudara saya mengenakan sepeda motor saya kemudian menyempatkan berkunjung kesana tiket masuk saya lupa sekitar 5000 kalo tidak salah. Sayang sekali ketika saya kesana saya kurang mendapat kenikmatan kesunyian benteng yang pernah masuh acara mister tukul jalan-jalan ini. Hal ini dikarenakan ketika saya berkunjung bertepatan dengan akan diadakannya konser musik yang salah satu pengisinya adalah mbak Uut/ Trie utami, sehingga benteng waktu itu dipenuhi banyak kru panggung. Tapi tidak apa hal itu tidak mengecilkan langkah saya untuk mengeksplor benteng Van den Bosch dan mengambil satu dua poto sebagai kenangan.
Salah satu lorong di Benteng Van den Bosch, Ngawi |
Akar pohon beringin yang eksotik tumbuh menjalar di tembok benteng Van den Bosch, Ngawi |
Itulah sebagian perjalanan yang saya telah lakukan di Kota Ngawi, sebuah kota kecil yang layak mendapat kunjungan karena tidak menyangka sebuah kota kecil banyak memiliki cerita sejarah dan lokasi alam yang cukup menarik. Kedepannya semoga Ngawi bisa lebih memperhatikan destinasi pariwisatanya lebih baik lagi. Sekian dan Terima Kasih.
Komentar
Posting Komentar